Halaman

11 April 2009

Arjuna

Anda semua pasti kenal donk yang namanya Arjuna. Tokoh Pandawa paling ngganteng sedunia ( dunia wayang maksudna ). Ada berbagai macam arti dari kata Arjuna. Salah satu yang menarik bagi saya, adalah arti metaforisnya dalam bahasa Sanskrit. Dalam bahasa Sanskrit; Arjuna: a—“no ( tidak ),” rajju—“rope, the symbol of bondage” (tali, lambang keterikatan ),”, and na—“no ( tidak ).” Although he is free, he thinks he is in bondage ( Meski sebenarnya dia bebas, namun dia merasa ‘ terikat’ )

Sekarang, mari bercermin diri. Seberapa sering kita sering mengalaminya? Kita yang sebenarnya bebas, merdeka namun seiring perjalanan waktu, sering menempelkan kelekatan – kelekatan yang mengikat hidup kita. Kelekatan tersebut bisa berbentuk kegemaran, hubungan asmara atau jabatan di pekerjaan. Dalam contoh kecil, saya melihat keponakan saya terbiasa tidur bersama bonekanya. Suatu ketika, bonekanya dicuci dan kebetulan dia ngantuk ingin bobo. Keponakan saya menjadi uring – uringan karena bonekanya ngga ada. Dia merasa tidak bisa tidur tanpa ditemani bonekanya. Di Jogja dulu, ada sepasang suami istri mantan pejabat yang udah pensiun dan tinggal didekat rumah. Setiap lewat depan rumahnya, kita diharuskan ndungkluk – ndungkluk sambil bilang,” ndherek langkung pak Lurah.” Whoalahh.. Ada yang bilang ini namanya post power syndrom, sebuah gejala psikologis seseorang yang ngga mampu melepaskan diri dari kelekatan bayang – bayang jabatan dan kekuasaan yang membuat beliau dulu terbiasa dihormati. Di kantor tempat kerja di Indonesia dulu, ada temen yang shock berat gara – gara diputus oleh pacarnya. Sampai tidak doyan makan minum, kerja juga jadi ngga karuan. Gejala shock-nya bahkan menjelma menjadi semacam trauma sehingga hampir 10 tahun, dia ngga mau pacaran atau membina hubungan khusus dengan lawan jenis. Ini karena dia kesulitan melepaskan dirinya dari kelekatan akan sosok pacarnya yang dulu.
Lihatlah, berapa banyak kelekatan yang menempel erat dalam diri kita? Dari hal yang sepintas kecil seperti hobi, kegemaran, hubungan asmara hingga ke label jabatan. Serasa ada sesuatu yang “ hilang” saat semua itu pergi meski sebenarnya itu bukan bagian dari diri kita. Dan anehnya, saat kehilangan, kita merasa kesakitan luar biasa.
Di GB saya kemarin, mas Bunkam memberi pencerahan dengan kata – katanya,” Saben uwong kalairake kanthi mardika lan darbe martabat lan hak-hak kang padha.” ( Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka dan memiliki martabat dan hak yang sama ). Saya setuju 100% kita terlahir bebas merdeka tanpa ikatan dan kelekatan. Namun saat pertama mengenal nikmatnya dunia, kita mulai memperumit diri dengan berusaha mendefinisikan kebahagiaan. Dengan mensyaratkan bahwa hanya akan bahagia apabila mampu menggapai hal - hal yang kita identifikasikan sebagai sumber kebahagiaan. Dan celakanya, kita menolak berbahagia sebelum mendapatkan semua itu. Repotnya yang disebut sumber kebahagiaan tersebut lebih sering untuk memuaskan ego kita, bukan mencari pemenuhan jiwa. 
Dalam perjalanan waktu, kemerdekaan kita kadang dirampas oleh ambisi atau persepsi untuk mengejar apa yang kita anggap menjadi syarat – syarat kebahagiaan tersebut. Pertanyaannya, benarkah bahwa bahagia itu bersyarat? Benarkah setelah meraih semuanya; harta, cinta dan kekuasaan kemudian kita menjadi bahagia? Mbuh..lah..mumet !!
Coba amati diri. Dikala jatuh cinta atau patah hati, apakah perasaan kita masih sama saat mendengarkan kicau burung pagi atau melihat indahnya bunga yang sedang mekar? Jika tidak, mungkin sebagian kemerdekaan kita telah terikat dan bahkan terampas oleh sebuah perasaan yang sering kita persepsikan sebagai cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Comment Anda